Minggu, 20 Desember 2009

Selamat Datang di Kastil Hitam

Oleh Dini Ardianty


Wuuzzzz....
Angin malam memainkan rambutku. Aduh, padahal aku baru saja merapikannya di salon. Jangan biarkan rambutku terlihat kusut. Aku berhenti sejenak. Duduk di salah satu kursi pinggiran jalan. Kemudian aku mengeluarkan satu set peralatan make-up yang tersimpan di tas baruku yang mermotif Jack-O Lentern. Itu lho, hiasan dari labu meringis yang menjadi simbol Halloween.
Hmm... kurasa penampilanku sudah cukup menarik. Hanya saja aku perlu berhati-hati agar rambutku tak lagi berantakan karena perjalanan masih jauh. Sekitar dua blok lagi.
“Hai, Nona!” sapa pemuda di dalam van merah yang berhenti tepat di depanku. Ah, paling-paling cuma iseng. Biasalah, dengan penampilan layaknya primadona seperti ini lelaki mana sih yang takkan berhenti sejenak untuk sekedar melirik.
“Kau mau kemana?” tanyanya lagi. Aku berusaha untuk tak menghiraukannya. Aku tak mau ambil resiko. Apalagi belum genap tiga bulan aku tinggal di negeri antah berantah ini. Sebenarnya aku tak ingin bekerja di sini, tapi mau apa lagi, lapangan pekerjaan di tanah air tak lagi ramah untuk seniman operet sepertiku. Dan di sinilah aku melangkah, Transylvania. Tempat di mana operet masih menjadi hiburan nomor satu. Tempat asing yang tak pernah terpikir olehku sebelumnya. Dan juga tempat di mana cerita Drakula lahir. Tak heran Transylvania menjadi jajakan turis saat perayaan Halloween seperti ini. Karena di sini Halloween menjadi daya tarik tersendiri. Mereka menyambutnya dengan suka cita. Mereka juga biasanya memanggil arwah nenek moyang. Seakan itu adalah hal yang sakral. Di perayaan Halloween, semua orang seakan mengingat peristiwa mengerikan yang dulu pernah terjadi. Sembilan ratus sembilan puluh sembilan nyawa melayang di malam perayaan Halloween. Konon, mereka meninggal karena mengadakan pesta kostum Drakula. Ugh, aku juga tak tahu cerita itu benar atau tidak. Karena peristiwa itu terjadi pada tahun 1900, tiga tahun setelah Bram Stoker menceritakan tokoh Drakula dalam novelnya.

“Hai nona, ikutlah denganku. Aku tahu kau juga akan pergi ke Kastil Hitam,” ujar pemuda berkostum Drakula itu lagi.
“Bagaimana kau tahu?” tanyaku akhirnya.
“Ayolah, semua orang menuju ke Kastil Hitam sekarang. Jalannya menanjak, jika kau tak naik mobil kau pasti akan lelah. Hai, aku ini orang baik-baik, jangan khawatir!” Ia membukakan pintu depan mobil. Benar juga, jika aku tetap ngotot jalan kaki, dandananku akan berantakan nantinya!
“Kau berubah pikiran?” tanyanya lagi. Tanpa banyak bicara lagi aku duduk di kursi depan.
”Terima kasih.” Ujarku. Pemuda itu hanya menaikkan alisnya.
“Jadi, siapa namamu? Sepertinya kau bukan orang sini. Dari mana asalmu? Amerika? Asia?”
“Indonesia,” potongku singkat. Pemuda ini banyak omong banget sih. Ingin aku membungkam mulutnya jika dihadapanku ada selotip besar.
“Aku Ricky.”
“Linda.” Ugh, mulai lagi!
Bruumm...
Ricky mengemudikan mobilnya dengan kencang. Seakan tak ingin membuang waktu. Lagipula jalanan Transylvania malam ini begitu lenggang. Hingga hampir tak satupun kendaraan yang melintas. Di sepanjang jalan, orang-orang dengan warna-warni kostumnya berjalan kaki dalam keheningan kota. Melangkah ke arah yang sama. Kastil Hitam yang terletak di atas bukit.
“Soda?” Ricky menawarkan sekaleng soda padaku.
“Tidak, terima kasih.” Oh tidak. Tidak! Aku akan merasa bersalah bila minum soda di jam yang selarut ini. Batinku.
Hmm. Bau anyir apa ini? Jeruk? Mulberry? Oh tidak-tidak! Ini bau... darah! Darah? Yang benar saja!
“Oh Rick, kau habis makan ayam atau daging di mobil, ya?” Aku membuka jendela mobil sedikit lebih lebar.
“Tidak,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan.
“Ugh!” Aku memandanginya sambil sesekali menutup hidung. Hei, dia cakep juga! Lihatlah bola matanya yang berwarna biru sangatlah kontras dengan rambutnya yang coklat. Hidungnya disejajarkan dengan hidungku? Ugh, aku jadi terlihat seperti babi! Kurang apa lagi coba. Dia lumayan juga. Hanya... Ups! Ada beberapa kerutan di bawah bola mata dan dahinya yang membuatnya terlihat lebih tua dari usianya. Aku jamin, ia masih berumur dua puluh lima-an!
“Hei!” tiba-tiba Rick menoleh ke arahku. Aku segera mengalihkan pandangan.
“Mengapa kau melihatku seperti itu?” tanya Rick.
“Ehmm... kostummu keren!” jawabku asal.
“Oh, tentu saja. Aku mencurinya dari museum.”
“Apa?” pekikku kaget.
“Hahaha... tentu saja tidak! Memangnya kau kira aku ini makhluk zaman purba yang bangkit kembali, lalu mengambil pakaian-pakaian indah di museum dan butik-butik?” Ricky tertawa keras. Memperlihatkan gigi-giginya yang rapat. Hanya saja, kedua gigi taringnya terlihat agak panjang. Atau mungkin memang sengaja dibuat begitu untuk perayaan malam ini.
“Kita sudah sampai!” Ricky memarkirkan mobilnya di halaman.
Wow, di depanku berdiri kokoh sebuah kastil yang sangat megah. Lampu di dalamnya sengaja dibuat remang-remang untuk menciptakan suasana seseram mungkin. Suara teriakan menggema dari dalam kastil. Menurut legenda, disinilah Bram Stoker mengambil seting untuk novelnya.
“Selamat datang di Kastil Hitam!” serunya lagi. Ih, emangnya ini kastil milikmu apa! Batinku.
Aku berjalan di belakang Ricky sambil sesekali membenarkan gaunku. Uh, dandanan seperti ini membuatku terlihat aneh. Tapi keren juga lho!Aku memilihnya sewaktu melihat diskon di salah satu toko tempo hari. Oh ya, selain pesta kostum, nantinya akan dilakukan pesta pemujaan terhadap nenek moyang. Terutama kepada yang disakralkan, Tuan Count Dracula. Aku belum tahu, tapi ikut saja.
Saat kami memasuki ruangan, semua orang yang berada di sana tercengang memandang kami tanpa kata-kata. Ah, mungkin mereka terpesona melihat kostum yang kami kenakan. Kalau dipikir-pikir, malam ini aku dan Ricky serasi juga. Ricky mengenakan kostum pangeran Drakula. Sedangkan aku memilih dandanan ala gadis Hythe, itu lho hantu-hantu perempuan yang menjadi pembantu Drakula lengkap dengan gaun merahnya.
“Aaaa...,”teriak seorang wanita di ujung ruangan. Semua pandangan beralih ke wanita dengan kostum dukun Indian itu.
“Drakula hidup kembali!”serunya lagi. Apa? Ruangan menjadi riuh.
“Sudah kubilang tidak ada yang boleh mengenakan kostum Drakula ataupun Hythe!” ujar lelaki bongkok yang berjalan membungkuk sambil membawa lilin.
“Oh ya? Apakah ada larangan seperti itu?” tanyaku pada Ricky. Namun ia hanya diam saja.
“Pulanglah, sebelum semua terlambat!” seru seorang kakek.
“Apanya yang terlambat?” Pikiranku benar-benar kacau. Aku bukan warga sini dan tak begitu mengerti soal mitos-mitos Halloween yang begitu sakral.
“Kau berada di Kastil Hitam, nak!” ujarnya lagi. Aku bertambah bingung.
DUAARRRR....
Tiba-tiba petir menyambar dan ruangan berubah menjadi sangat gelap. Lilin-lilin mati tertiup angin. Terdengar suara teriakan dimana-mana.
BRUUUUKKKK...
Tubuhku terhempas beberapa meter ke belakang. Dan dari tubuh Ricky terpancar cahaya keemasan. Kemudian ia melayang. Berputar-putar mengelilingi ruangan. Dari arah lain, tiga wanita cantik keluar dari perapian dan mendekatiku. Mereka adalah gadis Hythe. Suara teriakan semakin menggema. Aduh, kepalaku pusing. Apa! Perlahan tapi pasti tubuhku ikut terangkat ke udara. Mengikuti kemana gadis-gadis Hythe itu pergi. Rasa gatal muncul dari rahang atasku. Oh tidak, bertambah panjanglah gigi taringku!
“Ricky, kaukah itu?” seorang wanita paruh baya mengejar raga Ricky dibawahnya. Ricky berhenti dan memandangi wanita itu.
“Rick, masih ingatkah kau pada kakakmu ini? Mengapa kau kembali lagi? Sudah ku bilang alam kita sudah berbeda...”
“Diam!!! Aku kembali karena tak terima kematianku yang sia-sia. Malam ini Tuan Drakula akan senang karena aku akan mendapatkan kalian semua. Ya, dan dialah yang pertama!” Ricky menunjukku. “Apa?” BRUUKKK... aku kehilangan konsentrasi sehingga jatuh ke lantai. Di tengah-tengah mereka.
Ia tersenyum menampakkan gigi taringnya yang tajam. Kastil Hitam berubah menjadi bangsal rumah sakit. Satu persatu calon vampir berjajar menempati satu tempat tidur. Tangan dan kaki mereka terbelenggu. Hanya teriakanlah yang dapat menyuarakan rontahan hati. Dan Ricky pun mulai menghampiri manusia-manusia tak berdaya itu dan menancapkan taringnya di leher mereka. Aku berdiri termangu di ujung lorong.
“Hei, ayo lakukan, Hythe!” seru Ricky dengan mulut penuh darah. Yaik, bau anyir itu kembali tercium! Dan kali ini berasal dari mulutku. Ya, tanpa ku sadari aku tengah menancapkan taringku di leher seorang anak kecil. Oh tidak!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar