Kamis, 21 Januari 2010

Twelfth Night, or What You Will

Malam Keduabelas (Inggris: Twelfth Night) adalah sandiwara komedi karya William Shakespeare. Sandiwara ini diperkirakan pertama diangkat ke atas panggung pada tanggal 6 Januari 1601, 12 hari setelah Natal, yang merupakan asal muasal judulnya, dan merupakan salah satu komedi Shakespeare yang paling terkenal.

Dalam sandiwara in, Viola, seorang gadis bangsawan, mengalami kapal karam dan terdampar di tanah asing. Ia berpikir saudara kembarnya, Sebastian, tenggelam. Viola lalu berdandan sebagai pria dan menjadi pelayan di rumah seorang adipati, dan tiba-tiba terjebak dalam cinta segitiga dengan sang adipati dan seorang wanita bangsawan yang cantik. Kebingungan tersebut ditambah lagi dengan seorang pelayan yang usil, paman yang eksentrik, kapten kapal, pembantu yang membuat rencana, dan Sebastian yang ternyata masih hidup.


Tokoh utama

* Viola, seorang gadis bangsawan yang menyamar sebagai seorang pria muda bernama Cesario
* Sebastian, saudara kembar Viola
* Orsino, Adipati Illyria
* Olivia, seorang wanita bangsawan
* Maria, pembantu Olivia
* Malvolio, pelayan Olivia
* Sir Toby Belch, paman Olivia yang mabuk
* Sir Andrew Aguecheek, teman Toby yang bodoh dan ingin melamar Olivia
* Antonio, seorang kapten kapal

Waktu dan tempat

Awal abad ke-17 di Illyria, sebuah negara di Laut Adriatik.

Sinopsis

Ceritanya berpusat mengenai Viola, seorang wanita muda yang baru saja kehilangan saudara kembarnya, Sebastian, di laut. Masing-masing mengira saudaranya telah tewas. Viola kemudian menyamar menjadi laki-laki bernama Cesario untuk bekerja pada Duke Orsino. Orsino kebetulan sedang jatuh cinta pada Olivia, seorang wanita yang kakaknya baru meninggal dan berkabung sehingga ia menolak rayuan Orsino. Karena itu Orsino mengirim Cesario alias Viola untuk membujuk Olivia.

Tak dinyana Olivia malah jatuh cinta pada Viola yang dikiranya seorang laki-laki. Padahal Viola juga jatuh cinta pada Orsino. Kebingungan makin memuncak ketika Sebastian tiba-tiba muncul sehat walafiat. Olivia mengira Sebastian adalah Viola, dan Viola ragu-ragu apakah ia akan keluar dari samarannya agar dapat memikat Orsino.

William Shakespeare

William Shakespeare (lahir di Stratford-upon-Avon, Warwickshire, Inggris, 26 April 1564 – meninggal di Stratford-upon-Avon, Warwickshire, Inggris, 23 April 1616 pada umur 51 tahun) adalah seorang penulis Inggris yang seringkali disebut orang sebagai salah satu sastrawan terbesar Inggris. Ia menulis sekitar 38 sandiwara tragedi, komedi, sejarah, dan 154 sonata, 2 puisi naratif, dan puisi-puisi yang lain. Ia menulis antara tahun 1585 dan 1613 dan karyanya telah diterjemahkan di hampir semua bahasa hidup di dunia dan dipentaskan di panggung lebih daripada semua penulis sandiwara yang lain.

Kehidupan

"Some are born great, some achieve greatness, and some have greatness thrust upon them"
—Twelfth Night

Shakespeare lahir di Stratford-upon-Avon, Inggris, pada bulan April 1564, sebagai putra John Shakespeare dan Mary Arden. Ayah William cukup kaya ketika ia lahir dan memiliki bisnis pembuatan sarung tangan namun kemudian ia menjadi agak miskin setelah menjual wol secara ilegal. Shakespeare tidak mengikuti jejak ayahnya.

Pada zaman itu, sekolah umum baru dimulai di Inggris. Sebelumnya, hampir semua anak tidak tahu cara membaca dan menulis, mereka hanya belajar suatu ketrampilan atau bertani. Shakespeare pergi ke salah satu sekolah umum yang baru ini. Ia belajar Latin, yang merupakan bahasa semua kaum terpelajar, tidak peduli dari negara mana mereka berasal. Dari London ke Lisbon, dari Aleksandria ke Konstantinopel, dari Tunis ke Yerusalem, semua orang terpelajar berbicara Latin dan bahasa ibu mereka. Semua dokumen penting, baik dokumen negara, gereja, atau perdagangan, ditulis menggunakan Latin.

Shakespeare juga mempelajari karya-karya para penulis dan filosofer dari Yunani Kuno dan Romawi. Lebih dari 100 tahun berlalu sejak Yohanes Gutenberg memperkenalkan percetakan ke Eropa pada tahun 1452. Shakespeare dan orang Inggris lain yang dapat membaca ─ dan mampu membeli ─ buku-buku menjadi akrab dengan kisah-kisah dari berbagai tempat seperti Italia, Perancis, Asia Minor, dan Afrika Utara. Beberapa kisah-kisah ini menjadi dasar cerita-cerita terbesar Shakespeare. Contohnya, The Golden Ass karya Apuleius, sebuah kisah kuno dari Afrika Utara, kemungkinan merupakan kisah yang menginspirasikan Impian di Tengah Musim. Shakespeare meminjam cerita untuk Romeo dan Juliet dari seorang penulis Inggris lain, yang mendapatkannya dari seorang penulis Perancis, yang menterjemahkannya dari kisah abad ke-16 oleh Luigi da Porta dari Italia yang bersumpah bahwa cerita tersebut adalah berdasarkan cerita nyata.
Sampul muka Folio Pertama, 1623. Gambar Shakespeare oleh Martin Droeshut

Di dalam dunia Shakespeare, terdapat susunan-susunan yang telah diterima secara umum. Hampir semua orang di Inggris adalah Kristen. Di hierarki terbawah terdapat kaum pekerja, di atasnya para petani dan pedangang, lalu para pendeta dan pengawal, lalu naik lagi para ksatria, tuan tanah, uskup agung, dan para adipati. Sang monarki bertahta di puncak tatanan sosial. Di Inggris, monarki tersebut adalah Ratu Elizabeth I (yang dilanjutkan dengan kemenakannya, James I).

Elizabeth I memerintah Inggris hampir selama hidup Shakespeare. Pada zaman tersebut tidak ada peperangan. Diplomasi sang ratu membuat kedua seterunya Perancis dan Spanyol terjaga seimbang. Perdagangan berkembang. London menjadi kota yang padat, ramai, dan penuh dengan peluang. Rumah-rumah sandiwara dibangun di London; teater-teater tersebut adalah tempat yang populer dikunjungi masyarakat.

Sistem kelas pada zaman Shakespeare dapat saja sudah memiliki susunan-susunan, namun hal tersebut tidak statis. Orang-orang mulai berpikir tentang mereka sendiri. Shakespeare hidup di zaman Renaissans yang berarti "kelahiran kembali" yang terjadi pada abad ke-15 hingga abad ke-17 di Eropa.

Renaissans Eropa menghidupkan kembali pembelajaran klasik. Pada zaman tersebut terdapat gerakan kebangkitan minat terhadap seni, musik, dan arsitektur. Suatu dunia yang tua dan stagnan tiba-tiba berubah menjadi hidup dan vibran. Meskipun hampir semua orang percaya bahwa susunan matahari, bulan, bintang, dan planet mempengaruhi nasib mereka, beberapa orang mulai merubah cara berpikir mereka tentang diri mereka dan dunia yang mereka tinggali. Mereka mulai memahami kekuasaan dan posisi pemerintahan diciptakan oleh manusia, bukan ditentukan oleh Tuhan sejak lahirnya. Mereka menyadari bahwa kekristenan bukanlah satu-satunya agama di dunia. Dan karena banyak di antara mereka mulai dapat membaca, maka banyak juga yang tidak ingin tinggal di kelas sosial tempat mereka dilahirkan. Banyak petualang Renaissans menggunakan cara mereka sendiri-sendiri untuk mencari rejeki dan mengembangkan kehidupan mereka. Shakespeare adalah salah satu dari orang-orang tersebut.

Pada awal 1590an, William Shakepseare mengokohkan dirinya sebagai seorang penulis sandiwara dan aktor di London. Selain itu, ia juga memiliki bagian dari rumah sandiwara tempat ia dan teman-temannya bermain. Itu mungkin adalah sumber penghasilannya. Shakespeare menikahi Anne Hathaway, yang delapan tahun lebih tua daripadanya, pada tanggal 28 November 1582 di Temple Grafton, dekat Stratford. Anne kala itu hamil tiga bulan. Bersama-sama mereka dikaruniai tiga anak: Susanna, dan si kembar Hamnet dan Judith. Istri dan ketiga anaknya tinggal di Stratford, dan kemungkinan besar Shakespeare pergi mengunjungi mereka setahun sekali. Pada tahun 1596 Hamnet meninggal dunia. Karena kemiripan nama, banyak orang berpikir bahwa hal ini mengilhaminya untuk menulis The Tragical History of Hamlet, Prince of Denmark.

Shakespeare menjadi orang teater yang sangat terkenal, sangat populer, dan sangat kaya. Ratu Elizabeth I sangat menyukai karya-karyanya; begitu pula dengan Raja James I, penerusnya. Pada pemerintahan James I, Shakespeare dan kawan-kawan terkenal dengan sebutan "Orang-orang Raja" karena Raja James I adalah pengunjung mereka yang spesial. Shakespeare dan Orang-orang Raja bermain di istana kerajaan, di teater Globe dan di rumah sandiwara mereka, dan teater Blackfriars. Untuk mendapatkan lebih banyak uang, mereka juga mengadakan tur keliling Inggris, terutama pada saat-saat wabah penyakit menjangkit Inggris.
"All the world's a stage ..."
—As You Like It


Orang-orang zaman Elizabeth tidak memandang pemain atau penulis sandiwara adalah pekerjaan yang terhormat. Pergi ke teater pada zaman tersebut tidak sama seperti pergi ke teater pada saat ini, hal itu lebih seperti pergi menonton pertandingan sepak bola!

Teater-teater zaman Elizabeth merupakan bangunan kayu yang bertingkat-tingkat. Para penonton duduk di ketiga sisi atau berdiri di tengah-tengah lantai. Bagian tengah teater terbuka atapnya karena pada zaman itu belum ada penerangan buatan. Ribuan orang berjejalan di teater untuk pertunjukan sore hari. Para penonton berteriak-teriak di belakang para aktor. Teater Globe adalah tempat yang padat pengunjung, bising, dan berjejal-jejalan.

Puluhan ribu orang yang memadati untuk melihat sandiwara Shakespeare akan dapat mendengar 1700 kata yang diciptakan oleh Shakespeare. Banyak kata-kata ciptannya yang saat ini masih digunakan. Contohnya: "deafening" (menulikan), " hush", " hurry" (lekas), " downstairs" (di bawah), " gloomy" (sedih), " lonely" (sendirian), " embrace" (pelukan), " dawn" (senja). Ejaan yang digunakan Shakespeare pun berbeda dari zamannya. Orang-orang zaman Elizabeth mengeja kata-kata seperti yang tertulis, seperti Latin dan Indonesia. Tidak ada cara "yang benar" untuk mengeja. Orang-orang menulis suatu kata seperti ejaan yang mereka inginkan. Jika ingin menulis "me" (saya) tapi ingin memberikan penekanan pada kata tersebut, maka kata tersebut akan dituliskan "mee". Jika sang penulis ingin kata tersebut dibaca seperti orang berteriak dari atap rumah, maka kata tersebut akan dituliskan "Meee".

Dalam teks Shakespeare akan dijumpai kata "stayed" (tinggal) dieja "stay'd", karena Shakespeare ingin mengucapkan kata tersebut sebagai satu suku kata (baca: 'steid') seperti ejaan bahasa Inggris sekarang, bukan dua suku kata (baca: 'stei-ed'). Bahasa Inggris modern banyak menggunakan penulisan dari zaman dahulu namun dengan menggunakan ejaan yang baru. Contohnya kata "knight" (ksatria) dulunya dieja sama seperti tulisannya (baca: 'k-ni-gh-t' 4 suku kata). Di dalam budaya oral seperti zaman Shakespeare, orang-orang mempedulikan detil intonasi, nada suara, dan bunyi yang ditimbulkan pada waktu mereka berbicara sehingga bahasa lisan yang digunakan lebih kaya pada zaman dahulu daripada zaman sekarang.
"To be, or not to be, that is the question"
—Hamlet


William Shakespeare menulis selama dua puluh lima tahun, menciptakan tiga puluh enam hingga tiga puluh sembilan karya yang diketahui hingga saat ini. Topik yang dicakup beragam mulai dari romans komik hingga perang saudara, dari permainan domestik hingga kejadian politis yang menggegerkan dunia. Namun tiga hal yang mendasari seluruh karyanya adalah pertanyaan-pertanyaan: Apa artinya untuk hidup? Bagaimana cara kita hidup? Apa yang harus kita lakukan?

Sandiwara Shakespeare menawarkan pemahaman yang mendalam terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Itulah sebabnya mengapa ahli-ahli literatur mempelajari karyanya, politikus-politikus mengutipnya, filosofer-filosofer menemukan cara berpikir yang baru dari membaca dan membaca ulang karyanya. Mempelajari Shakespeare adalah seperti mempelajari hidup dari berbagai sudut pandang: psikologis, politis, filosofis, sosial, spiritual. Ritme yang digunakannya dalam kata-katanya terefleksi dalam ritme tubuh kita. Memainkan peranan sandiwara Shakespeare di panggung membuat seseorang menyadari seberapa dalam seseorang harus menarik napas supaya suaranya dapat terdengar sampai ujung ruangan.

Shakespeare berhenti menulis pada tahun 1611 dan meninggal dunia beberapa tahun kemudian pada 1616. Sampai wafatnya ia tetap menikah dengan Anne. Pada batu nisannya tertulis: "Blest be the man who cast these stones, and cursed be he that moves my bones." (bahasa Indonesia: "Terbekatilah ia yang menaruh batu-batu ini, dan terkutuklah ia yang memindahkan tulang-tulangku.")

Tulisan
"I grow, I prosper"
—King Lear


Shakespeare menulis tentang keadaan manusia yang sangat manusiawi. Ia memahami apa yang hampir semua orang ingini: untuk menyayangi orang lain, dan disayangi oleh orang lain; makan, minum, dan tidur dengan tenang; untuk hidup di tengah dunia yang besar dan memiliki arti di dalam hidup. Shakespeare juga memahami bahwa manusia memiliki kelemahan-kelemahan yang terkadang jauh dari rencana-rencana mereka yang terhormat (atau tidak terhormat). Shakespeare adalah seorang jenius yang menunjukkan pada kita diri kita sesungguhnya.

Roestam Efendi

Roestam Effendi (lahir di Padang, Sumatera Barat, 13 Mei 1903 – meninggal di Jakarta, 24 Mei 1979 pada umur 76 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia dan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Keberadaannya dalam khasanah sastra Indonesia cukuplah penting. Semangat perlawanan terhadap pemerintah penjajahan dituangkan dalam penulisan sajak dan drama yang bersifat metaforik dan menjadi pembaharu dalam gaya. Ia adalah orang asli Hindia-Belanda pertama yang menjadi anggota parlemen Belanda.

Kehidupan Awal

Roestam Effendi lahir di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 13 Mei 1903. Latar belakang keluarganya tidak pernah dibicarakan orang. Roestam tamatan Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi yang kemudian melanjutkan sekolahnya di Hogere Kweekschool voor Indlanse Onderwijzers (Sekolah Guru Tinggi untuk Guru Bumiputra) di Bandung. Pada tahun 1926 ia pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan Hoofdakte. Sejak masih duduk di bangku sekolah, Roestam sudah banyak menaruh minat pada soal-soal kebudayaan dan pernah bercita-cita hendak memperbaharui dunia sandiwara yang saat itu lebih bersifat komedi stambul.

Karir

Sebelum pergi ke Belanda, Roestam sempat beberapa lama menjadi kepala sekolah di Adabiah, Padang. Sebelum di Adabiah, ia pernah diangkat menjadi Waarnemend hoofd pada sekolah tingkatan HIS di Siak Sri Indrapura. Namun pengangkatan tersebut ditolaknya. Ia kemudian mendirikan sekolah partikelir yang diberi nama "Adabiah". Sebagai kepala sekolah, ia merasa memiliki kemerdekaan untuk berbuat. Sehingga ketika ia mengepalai sekolah, ia juga terjun ke dunia politik dan aktif menulis.

Di Belanda, Roestam bergabung dengan Partai Komunis Belanda (Communistische Party Nederland, CPN). Roestam juga merupakan satu-satunya orang Hindia yang pernah duduk di parlemen Belanda dari partai tersebut. Ia meninggalkan lapangan sastra di Indonesia, karena ingin memperjuangkan kemerdekaan nasional secara langsung dan aktif di lapangan politik.

Di dunia sastra, keseriusannya untuk mengembangkan sastra Melayu diperlihatkan dengan kegigihannya mempelajari hasil-hasil kesusastraan Melayu seperti hikayat, syair, dan pantun. Pada masa awal kepengarangannya, Roestam sering menggunakan nama-nama samaran seperti Rantai Emas, Rahasia Emas, dan Rangkayo Elok.

Naskah Drama

Karya Roestam yang cukup terkenal ialah Bebasari, yaitu naskah drama yang ditulisnya pada tahun 1920-an. Naskah ini sempat dilarang oleh pemerintah Belanda ketika ingin dipentaskan oleh siswa MULO Padang dan para mahasiswa kedokteran di Batavia (Jakarta). Pelarangan itu disebabkan karena karya ini dianggap sindiran terhadap pemerintah Hindia-Belanda.

Cuplikan teks Bebasari :

Harapan beta perawan pada Bujangga hati pahlawan
Lepaskan beta oh kakanda, lepaskan
Dengarlah peluk asmara hamba
Kilatkan jaya kekasih hati

Isi cerita Bebasari ialah, putri seorang bangsawan yang terkurung di antara kawat berduri, setelah ayahnya dibunuh. Bebasari diculik. Barangkali dia yakin kekasihnya, Bujangga, terus membawa dendam kesumat pada penjahat Rahwana. Bagaimana tak sakit hati Bujangga, kekasih diculik, kerajaan porak-poranda, bapak mati berkubang kesedihan. Hatinya geram dan bersiap menuntut balas. Jiwa kebangsaan, dendam patriotik hingga cinta asmara menjadi senjata pamungkas menghadapi penjajah durjana.

Karya

* Percikan Permenungan, kumpulan puisi yang pernah dimuat majalah Asjraq, Padang.
* Bebasari, naskah drama tiga babak.

Sanusi Pane

Sanusi Pane (lahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905 – meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru yang karya-karyanya banyak diterbitkan antara 1920-an sampai dengan 1940-an.

Keluarga

Sanusi Pane adalah anak dari Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Di antara delapan bersaudara, selain dirinya ada juga yang menjadi tokoh nasional, yaitu Armijn Pane yang juga menjadi angsastrawan, dan Lafran Pane yang merupakan pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam.

Pendidikan

Semasa mudanya, Sanusi Pane menempuh pendidikan formal di HIS dan ELS di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Pendidikannya selanjutnya adalah di MULO di Padang dan Jakarta, yang diselesaikannya tahun 1922. Ia lalu melanjutkan di Kweekschool (sekolah guru) di Gunung Sahari, yang selesai pada tahun 1925. Ia lalu mengajar di sekolah tersebut, sebelum dipindahkan ke Lembang dan menjadi HIK. Ia juga sempat kuliah di Rechtshogeschool dan mempelajari Ontologi. Pada antara tahun 1929-1930, ia berkesempatan mengunjungi India, yang selanjutnya akan berpengaruh besar terhadap pandangan kesusastraannya.

Karir

Sekembalinya dari India, Sanusi Pane menjadi redaksi majalah "Timbul" yang berbahasa Belanda. Ia mulai menulis berbagai karangan kesusastraan, filsafat dan politik, sementara tetap mengajar sebagai guru. Karena keanggotaannya dalam PNI, tahun 1934 ia dipecat. Ia kemudian pemimpin sekolah dan guru di sekolah-sekolah milik Perguruan Rakyat di Bandung dan Jakarta. Tahun 1936 Sanusi Pane menjadi pemimpin suratkabar Tionghoa-Melayu "Kebangunan" di Jakarta; dan tahun 1941 ia menjadi redaktur Balai Pustaka.

Pandangan


Dalam bidang kesusastraan, Sanusi Pane seringkali dianggap sebagai kebalikan dari Sutan Takdir Alisjahbana.[1] Sanusi Pane mencari inspirasinya pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau.[2] Perkembangan filsafat hidupnya itu, sampailah kepada sintesa Timur dan Barat, persatuan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, serta idealisme dan materialisme; yang tercermin dalam karyanya "Manusia Baru", yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1940.

Karya

Sanusi Pane cukup produktif dalam menghasilkan karya kesusastraan, diantaranya sebagai berikut:

* Pancaran Cinta (1926)
* Prosa Berirama (1926)
* Puspa Mega (1927)
* Kumpulan Sajak (1927)
* Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928)
* Eenzame Caroedalueht (drama berbahasa Belanda, 1929)
* Madah Kelana (1931)
* Kertajaya (drama, 1932)
* Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933)
* Manusia Baru (drama, 1940)
* Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuna, 1940)

Armijn Pane

Armijn Pane (lahir di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 18 Agustus 1908 – meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970 pada umur 61 tahun) adalah seorang penulis yang terkenal keterlibatannya dengan majalah Pujangga Baru. Bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah, Armijn Pane mampu mengumpulkan penulis-penulis dan pendukung lainnya dari seluruh penjuru Hindia Belanda untuk memulai sebuah pergerakan modernisme sastra.

Selain menulis puisi dan novel, Armijn Pane juga menulis kritik sastra. Tulisan-tulisannya yang terbit pada Pujangga Baru, terutama di edisi-edisi awal menunjukkan wawasannya yang sangat luas dan, dibandingkan dengan beberapa kontributor lainnya seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan saudara laki-laki Armijn, Sanusi Pane, kemampuan menilai dan menimbang yang adil dan tidak terlalu terpengaruhi suasana pergerakan nasionalisme yang terutama di perioda akhir Pujangga Baru menjadi sangat politis dan dikotomis.

Salah satu karya sastranya yang paling terkenal ialah novel Belenggu.

Bibliografi

* Puisi
o Gamelan Djiwa. Jakarta: Bagian Bahasa Djawa. Kebudayaan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. 1960
o Djiwa Berdjiwa, Jakarta: Balai Pustaka. 1939.
* Novel
o Belenggu, Jakarta: Dian Rakyat. Cet. I 1940, IV 1954, Cet. IX 1977, Cet. XIV 1991
* Kumpulan Cerpen
o Djinak-Djinak Merpati. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I 1940
o Kisah Antara Manusia. Jakarta; Balai Pustaka, Cet I 1953, II 1979
* Drama
o Antara Bumi dan Langit”. 1951. Dalam Pedoman, 27 Februari 1951.

Abdoel Moeis

Abdoel Moeis (lahir di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada umur 75 tahun) adalah seorang sastrawan dan wartawan Indonesia. Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada tahun 1918 mewakili Centraal Sarekat Islam.[1] Ia dimakamkan di TMP Cikutra - Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959).

Karir

Dia pernah bekerja sebagai klerk di Departemen Buderwijs en Eredienst dan menjadi wartawan di Bandung pada surat kabar Belanda, Preanger Bode dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim. Dia sempat menjadi Pemimpin Redaksi Kaoem Moeda sebelum mendirikan surat kabar Kaoem Kita pada 1924. Selain itu ia juga pernah aktif dalam Sarekat Islam dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat yang pertama (1920-1923). Setelah kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan

Riwayat Perjuangan

* Mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express
* Pada tahun 1913, menentang rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis melalui Komite Bumiputera bersama dengan Ki Hadjar Dewantara
* Pada tahun 1922, memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta sehingga ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat
* Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School - Institut Teknologi Bandung (ITB)

Karya Sastra

* Salah Asuhan (novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972)
* Pertemuan Jodoh (novel, 1933)
* Surapati (novel, 1950)
* Robert Anak Surapati(novel, 1953)

Terjemahannya

* Don Kisot (karya Cerpantes, 1923)
* Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928)
* Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932)
* Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950)

Putu Wijaya

Putu Wijaya (bernama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944; umur 65 tahun) adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa. Ia adalah bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.

Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga telah menulis skenario film dan sinetron. Sebagai seorang dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.

Cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai seorang penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.

Pendidikan

* SR, Tabanan (1956)
* SMP Negeri, Tabanan (1959)
* SMA-A, Singaraja (1962)
* Fakultas Hukum UGM (1969)
* ASRI dan Asdrafi, Yogyakarta
* LPPM, Jakarta (1981)
* International Writing Programme, Iowa, AS (1974)

Karya dan karir
Teater

* Pimpinan Teater Mandiri, Jakarta (1971-sekarang)

Penulis skenario film

Antara lain :

* Perawan Desa (memperoleh Piala Citra FFI 1980)
* Kembang Kertas (memperoleh Piala Citra FFI 1985)
* Ramadhan dan Ramona
* Dokter Karmila
* Bayang-Bayang Kelabu
* Anak-Anak Bangsa
* Wolter Monginsidi
* Sepasang Merpati
* Telegram

Penulis skenario sinetron

Antara lain :

* Keluarga Rahmat
* Pas
* None
* Warung Tegal
* Dukun Palsu (komedi terbaik pada FSI 1995)
* Jari-Jari Cinta
* Balada Dangdut
* Dendam
* Cerpen Metropolitan
* Plot
* Klop
* Melangkah di Atas Awan (penyutradaraan)
* Nostalgia
* Api Cinta Antonio Blanco
* Tiada Kata Berpisah
* Intrik
* Pantang Menyerah
* Sejuta Makna dalam Kata
* Nona-Noni

Karya drama

* Dalam Cahaya Bulan (1966)
* Lautan Bernyanyi (1967)
* Bila Malam Bertambah Malam (1970)
* Invalid (1974)
* Tak Sampai Tiga Bulan (1974)
* Anu (1974)
* Aduh (1975)
* Dag-Dig-Dug (1976)
* Gerr (1986)
* Edan
* Hum-Pim-Pah
* Dor
* Blong
* Ayo
* Awas
* Los
* Aum
* Zat
* Tai
* Front
* Aib
* Wah
* Hah
* Jpret
* Aeng
* Aut
* Dar-Dir-Dor

Karya novel

* Bila Malam Bertambah Malam (1971)
* Telegram (1972)
* Stasiun (1977)
* Pabrik (1976)
* Keok (1978)
* Aduh
* Dag-dig-dug
* Edan
* Gres
* Lho (1982)
* Nyali
* Byar Pet (Pustaka Firdaus, 1995)
* Kroco (Pustaka Firdaus, 1995)
* Dar Der Dor (Grasindo, 1996)
* Aus (Grasindo, 1996)
* Sobat (1981)
* Tiba-Tiba Malam (1977)
* Pol (1987)
* Terror (1991)
* Merdeka (1994)
* Perang (1992)
* Lima (1992)
* Nol (1992)
* Dang Dut (1992)
* Cas-Cis-Cus (1995)

Karya cerpen

* Karyanya yang berupa cerpen terkumpul dalam kumpulan cerpen Bom (1978)
* Es (1980)
* Gres (1982)
* Klop
* Bor
* Protes (1994)
* Darah (1995)
* Yel (1995)
* Blok (1994)
* Zig Zag (1996)
* Tidak (1999)

Karya Novelet:

* MS (1977)
* Tak Cukup Sedih (1977)
* Ratu (1977)
* Sah (1977)

Karya esai

Karya esainya terdapat dalam kumpulan esai Beban, Kentut, Samar, Pembabatan, Klise, Tradisi Baru, Terror Mental, dan Bertolak dari yang Ada.

Penghargaan yang telah diterima

* Pemenang penulisan lakon Depsos (Yogyakarta)
* Pemenang penulisan puisi Suluh Indonesia Bali
* Pemenang penulisan novel IKAPI
* Pemenang penulisan drama BPTNI
* Pemenang penulisan drama Safari
* Pemenang penulisan cerita film Deppen (1977)
* Tiga buah Piala Citra untuk penulisan skenario (1980, 1985, 1992)
* Tiga kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ
* Empat kali pemenang sayembara penulisan lakon DKJ
* Pemenang penulisan esei DKJ
* Dua kali pemenang penulisan novel Femina
* Dua kali pemenang penulisan cerpen Femina
* Pemenang penulisan cerpen Kartini
* Hadiah buku terbaik Depdikbud (Yel)
* Pemenang sinetron komedi FSI (1995)
* SEA Write Award 1980 di Bangkok
* Pemenang penulisan esei Kompas
* Anugerah Seni dari Menteri P&K, Dr Fuad Hasan (1991)
* Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang (1991-1992)
* Anugerah Seni dari Gubernur Bali (1993)

Kegiatan lainnya

* Wartawan majalah Ekspres (1969)
* Dosen teater Institut Kesenian Jakarta (1977-1980)
* Wartawan majalah Tempo (1971-1979)
* Redaktur Pelaksana majalah Zaman (1979-1985)
* Dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS (1985-1988)

Sutan Takdir Alisjahbana

Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun), adalah sastrawan Indonesia. Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya ada 4.

Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).

Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).

Masa Kecil

Ayah STA, Raden Alisyahbana Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepak bola yang handal. Kakek STA dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas, dan di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya yang paling terkenal: Layar Terkembang.

Keterlibatan dengan Balai Pustaka

Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.

Sutan Takdir Alisjahbana dan Perkembangan Bahasa Indonesia

Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang,Takdir melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, buku mana masih dipakai sampai sekarang,serta Kamus Istilah yang berisi istilah- istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setalah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, Takdir adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970 Takdir menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa- Bahasa Asia tentang "The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967)

Karya-karyanya
Sebagai penulis

* Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
* Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
* Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
* Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
* Layar Terkembang (novel, 1936)
* Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
* Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
* Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
* Pelangi (bunga rampai, 1946)
* Pembimbing ke Filsafat (1946)
* Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
* The Indonesian language and literature (1962)
* Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
* Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
* Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
* Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
* The failure of modern linguistics (1976)
* Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
* Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
* Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
* Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
* Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
* Kalah dan Menang (novel, 1978)
* Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
* Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
* Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)
* Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
* Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
* Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
* Sajak-Sajak dan Renungan (1987).

Sebagai editor

* Kreativitas (kumpulan esai, 1984)
* Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).

Sebagai penerjemah

* Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944)
* Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944)

Buku tentang Sutan Takdir Alisyahbana

* Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999) * S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006)

Penghargaan

* Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
* STA adalah pelopor dan tokoh sastrawan "Pujangga Baru".
* Doktor Kehormatan dari School For Oriental And African Studies London 2 Mei 1990
* DR.HC dari Universitas Indonesia
* DR.HC dari Universitas Sains Malaysia

Lain-lain

Sampai akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur bahasa melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantara kawasan.


Dari Wikipedia Indonesia

Nh. Dini

Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin (lahir di Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936; umur 73 tahun) atau lebih dikenal dengan nama NH Dini adalah sastrawan, novelis, dan feminis Indonesia.

Sejarah hidup


NH Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, “Nah, darah Bugisnya muncul".

NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.

Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi supir lokomotif atau masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api.

Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya.

Dini ditinggal wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Jakarta dalam acara Tunas Mekar.

Karir

Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah telajur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra feminis. Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya.

Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya. Ia seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, seperti komentar Putu Wijaya; 'kebawelan yang panjang.'

Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.

Bukti keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya, masuk jurusan sastra ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Setelah di SMA Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus dipupuk.

Pada 1956, sambil bekerja di Garuda Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia. Sejumlah bukunya bahkan mengalami cetak ulang sampai beberapa kali - hal yang sulit dicapai oleh kebanyakan buku sastra. Buku lain yang tenar karya Dini adalah Namaku Hiroko dan Keberangkatan. la juga menerbitkan serial kenangan, sementara cerpen dan tulisan lain juga terus mengalir dari tangannya. Walau dalam keadaan sakit sekalipun, ia terus berkarya.

Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.

Ia mengakui bahwa produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia mengambil contoh bukunya yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu terbit padahal mengetiknya hanya sebulan. Baginya, yang paling mengasyikkan adalah mengumpulkan catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau mendengar yang unik, sebelum tidur ia tulis tulis dulu di blocknote dengan tulis tangan.

Pengarang yang senang tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil berpikir, mengolah dan menganalisa. la merangkai sebuah naskah yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan berupa bibit-bibit tulisan itu disimpannya pada sejumlah map untuk kemudian ditulisnya bila sudah terangkai cerita.

Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang (kini 42 tahun) dan Pierre Louis Padang (kini 36 tahun). Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di Prancis.

Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja. Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis.

Setahun kemudian ia mengikuti suaminya yang ditempatkan di Manila, Filipina. Pada 1976, ia pindah ke Detroit, AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul Jenderal Prancis. Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.

Mantan suaminya masih sering berkunjung ke Indonesia. Dini sendiri pernah ke Kanada ketika akan mengawinkan Lintang, anaknya. Lintang sebenarnya sudah melihat mengapa ibunya berani mengambil keputusan cerai. Padahal waktu itu semua orang menyalahkannya karena dia meninggalkan konstitusi perkawinan dan anak-anak. Karena itulah ia tak memperoleh apa-apa dari mantan suaminya itu. Ia hanya memperoleh 10.000 dollar AS yang kemudian digunakannya untuk membuat pondok baca anak-anak di Sekayu, Semarang.

Dini yang pencinta lingkungan dan pernah ikut Menteri KLH Emil Salim menggiring Gajah Lebong Hitam, tampaknya memang ekstra hati-hati dalam memilih pasangan setelah pengalaman panjangnya bersama diplomat Perancis itu. la pernah jatuh bangun, tatkala terserang penyakit 1974, di saat ia dan suaminya sudah pisah tempat tidur. Kala itu, ada yang bilang ia terserang tumor, kanker. Namun sebenarnya kandungannya amoh sehingga blooding, karena itu ia banyak kekurangan darah. Secara patologi memang ada sel asing. Kepulangannya ke Indonesia dengan tekad untuk menjadi penulis dan hidup dari karya-karyanya, adalah suatu keberanian yang luar biasa. Dia sendiri mengaku belum melihat ladang lain, sekalipun dia mantan pramugrari GIA, mantan penyiar radio dan penari. Tekadnya hidup sebagai pengarang sudah tak terbantahkan lagi.

Mengisi kesendiriannya, ia bergiat menulis cerita pendek yang dimuat berbagai penerbitan. Di samping itu, ia pun aktif memelihara tanaman dan mengurus pondok bacanya di Sekayu. Sebagai pencinta lingkungan, Dini telah membuat tulisan bersambung di surat kabar Sinar Harapan yang sudah dicabut SIUPP-nya, dengan tema transmigrasi.

Menjadi pengarang selama hampir 60 tahun tidaklah mudah. Baru dua tahun terakhir ini, ia menerima royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari. Tahun-tahun sebelumnya ia mengaku masih menjadi parasit. Ia banyak dibantu oleh teman-temannya untuk menutupi biaya makan dan pengobatan.

Tahun 1996-2000, ia sempat menjual-jual barang. Dulu, sewaktu masih di Prancis, ia sering dititipi tanaman, kucing, hamster, kalau pemiliknya pergi liburan. Ketika mereka pulang, ia mendapat jam tangan dan giwang emas sebagai upah menjaga hewan peliharaan mereka. Barang-barang inilah yang ia jual untuk hidup sampai tahun 2000.

Dini kemudian sakit keras, hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang hasilnya menyatakan ada batu di empedunya. Biaya operasi sebesar tujuh juta rupiah serta biaya lain-lain memaksa ia harus membayar biaya total sebesar 11 juta. Dewan Kesenian Jawa Tengah, mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Hatinya semakin tersentuh ketika mengetahui ada guru-guru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25 ribu. Setelah ia sembuh, Dini, mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa banyak orang yang peduli kepadanya. Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian menetap di Sleman, Yogyakarta. Ia yang semula menetap di Semarang, kini tinggal di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari tujuh ribu buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang.

Alhasil, Dini di Yogya tetap menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di Semarang, membuka taman bacaan. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan untuk menyukai bacaan beragam bertema tanah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya membaca sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional, geografi atau lingkungan Indonesia, cerita rekaan dan petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta pengetahuan umum. Semua buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok Sekayu, Semarang pada 1986 itu, sekarang diteruskan di aula Graha Wredha Mulya. Ia senantiasa berpesan agar anak-anak muda sekarang banyak membaca dan tidak hanya keluyuran. Ia juga sangat senang kalau ada pemuda yang mau jadi pengarang, tidak hanya jadi dokter atau pedagang. Lebih baik lagi jika menjadi pengarang namun mempunyai pekerjaan lain.

Dalam kondisinya sekarang, ia tetap memegang teguh prinsip-prinsip hidupnya. Ia merasa beruntung karena dibesarkan oleh orang tua yang menanamkan prinsip-prinsip hidup yang senantiasa menjaga harga diri. Mungkin karena itu pulalah NH Dini tidak mudah menerima tawaran-tawaran yang mempunyai nilai manipulasi dan dapat mengorbankan harga diri.

Ia juga pernah ditawari bekerja tetap pada sebuah majalah dengan gaji perbulan. Akan tetapi dia memilih menjadi pengarang yang tidak terikat pada salah satu lembaga penerbitan. Bagi Dini, kesempatan untuk bekerja di media atau perusahaan penerbitan sebenarnya terbuka lebar. Namun seperti yang dikatakannya, ia takut kalau-kalau kreativitasnya malah berkurang. Untuk itulah ia berjuang sendiri dengan cara yang diyakininya; tetap mempertahankan kemampuan kreatifnya.

Menyinggung soal seks, khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam karya-karyanya, ia menganggapnya wajar-wajar saja. Begitulah spontanitas penuturan pengarang yang pengikut kejawen ini. la tak sungkan-sungkan mengungkapkan segala persoalan dan kisah perjalanan hidupnya melalui karya-karya yang ditulisnya

Sabtu, 16 Januari 2010

Konjaku Monogatarishuu

Konjaku Monogatarishū (Kumpulan cerita masa lampau) atau Konjaku Monogatari adalah kumpulan cerita yang diperkirakan selesai ditulis di Jepang pada akhir zaman Heian. Judul buku berasal dari kalimat pembuka cerita yang sebagian besar dimulai dengan kata "Konjaku" atau dibaca "Ima wa mukashi" (Di masa lampau). Sebelum abad ke-19, judul buku ini tidak dibaca sebagai Konjaku Monogatari, melainkan Imawamukashi no Monogatari.

Isinya berupa lebih dari seribu judul cerita dari tiga negara, India, Tiongkok, dan Jepang. Seluruhnya terdiri dari 31 volume yang tidak lengkap karena volume 8, 18, dan 21 tidak ada. Menurut perkiraan, volume yang tidak ada bukan disebabkan buku hilang atau rusak setelah selesai ditulis, melainkan mungkin belum selesai ditulis. Selain itu, sejumlah kalimat dan cerita yang ada di dalam buku ini juga tidak lengkap.

Pengarang zaman modern sering mengambil ide cerita dari Konjaku Monogatari. Di antaranya Ryūnosuke Akutagawa dengan cerita pendek Rashomon dan Hana (Hidung).

1.Sejarah

Tahun penulisan dan nama pengarang/penyunting buku ini tidak diketahui.

Tahun penulisan

Dalam Konjaku Monogatarishū terdapat indikasi bahwa penulisnya berusaha mencatat cerita-cerita seputar Perang Zenkunen dan Perang Gosannen yang merupakan perang besar di paruh kedua abad ke-11. Walaupun demikian, penulisannya terhenti pada judul-judul cerita sedangkan isi cerita tidak ada. Berdasarkan karakteristik tokoh dan peristiwa, Konjaku Monogatari diperkirakan disusun setelah tahun 1120-an hingga tahun 1449. Literatur lain yang pertama kali menyebut tentang Konjaku Monogatari adalah buku harian biksu Kyōkaku berjudul Kyōgaku Shiyōshō dari tahun 1449.[1]

Kejadian penting yang terjadi mulai pertengahan hingga akhir abad ke-12 seperti Pemberontakan Hōgen, Pemberontakan Heiji, dan Perang Genpei sama sekali tidak disebut-sebut atau dijadikan latar belakang cerita. Berdasarkan alasan tersebut, buku ini kemungkinan besar mulai ditulis pada tahun 1120-an di masa Kaisar Shirakawa atau Kaisar Toba menjalankan pemerintahan dari balik biara.

2.Pengarang

Hingga saat ini, nama pengarang atau penyunting sama sekali tidak diketahui. Bila Konjaku Monogatari dianggap sebagai edisi revisi dan perluasan dari Uji Dainagon Monogatari, maka penulisnya adalah seorang dainagon dari Uji yang bernama Minamoto no Takakuni. Namun penjelasan bahwa pengarang Konjaku Monogatari adalah Minamoto no Takakuni telah dibantah.[1] Selain itu, biksu dari Nanto Bokurei juga sering disebut sebagai penulisnya.

3.Naskah Suzuka

Perpustakaan Universitas Kyoto menyimpan naskah tertua Konjaku Monogatarishū yang berasal dari koleksi buku keluarga Suzuka sehingga disebut "Naskah Suzuka" (Suzuka-bon). Perpustakaan menerima naskah tersebut sebagai hadiah pada bulan Oktober 1991.[2] Setelah pekerjaan restorasi selesai, Naskah Suzuka ditetapkan sebagai pusaka negara pada bulan Juni 1996.

Naskah Suzuka yang dimiliki Perpustakaan Universitas Kyoto terdiri dari 9 volume.[2] Berdasarkan hasil analisis usia kertas, naskah Suzuka diperkirakan berasal dari sekitar zaman penulisan Konjaku Monogatarishū, dan kemungkinan adalah naskah asli (bukan salinan). Naskah-naskah Konjaku Monogatarishū yang lain diperkirakan disalin, dan disebarluaskan dari Naskah Suzuka.

4.Isi

Susunan

Cerita dikelompokkan menjadi tiga bagian: volume 1-5: India (187 cerita), volume 6-10: Tiongkok (180 cerita), dan volume 10-31: Jepang (736 cerita).[3] Masing-masing bagian diawali dengan cerita ajaran agama Buddha, termasuk di antaranya cerita mengenai karma. Setelah itu, masing-masing bagian dilanjutkan dengan cerita keduniawian. Cerita disusun secara kronologis, dimulai dari cerita yang paling tua.

Ciri khas Konjaku Monogatari adalah paragraf pembuka cerita yang umumnya dimulai dengan kalimat "Konjaku" atau dibaca "Ima wa mukashi" (今昔, 今ハ昔 ?, Di masa lampau). Sementara itu, cerita diakhiri dengan kalimat penutup yang umumnya berbunyi, "Tonamukatari Tsutaetarutoya" (トナム語リ伝エタルトヤ ?, Begitulah cerita seperti dikisahkan dan disampaikan turun temurun). Walaupun demikian, sebagian cerita juga memakai kalimat pembuka dan penutup yang lain. Selain itu, dua (atau tiga) buah kisah yang mirip dikelompokkan menjadi satu.

5.Sumber cerita

Cerita yang dikumpulkan dalam Konjaku Monogatari bukanlah cerita asli, melainkan hasil kutipan dari buku-buku lain. Buku yang dijadikan sumber cerita antara lain Nihon Ryōiki, Sanbō-e, dan Honchō Hokkegenki. Walaupun demikian, volume berisi cerita keduniawian asal Jepang memuat banyak cerita keduniawian yang tidak diketahui sumbernya. Cerita dari zaman yang sama, seperti kisah Putri Kaguya juga memakai kalimat pembuka "Ima wa mukashi", sehingga cerita lisan juga mungkin digunakan sebagai sumber cerita.

6.Gaya sastra

Naskah asli ("Naskah Suzuka") ditulis dalam aksara kanji yang mudah-mudah saja bercampur katakana (cara penulisan Wakan-konkōbun). Gaya penulisannya sederhana tidak terlalu dipenuhi retorika. Dibandingkan literatur klasik lainnya, Konjaku Monogatari termasuk lebih mudah dibaca. Sementara itu, penggunaan Gitaigo (kata sifat yang menjelaskan keadaan alam) menjadikan cerita menjadi hidup dan pembaca seolah-olah hadir dalam cerita. Tempo cerita lancar dan banyak memakai bahasa percakapan sehari-hari tidak seperti lazimnya karya sastra zaman Heian.

Cerita ditulis sedetil mungkin, dan sedapat mungkin menerangkan lokasi tempat kejadian dan penjelasan tentang tokoh utama dalam cerita. Bila keterangan tersebut tidak ada, penulis sengaja menyisakan tempat kosong pada bagian kalimat yang bisa diisi di kemudian hari. Banyaknya tempat-tempat kosong yang belum diisi juga menjadi ciri khas buku ini.

7.Isi masing-masing volume

Bagian India

Volume 1-4 berisi cerita ajaran agama Buddha. Volume 5 berisi cerita keduniawian, dan cerita kehidupan lampau Buddha Sakyamuni.

* Volume 1: India (kelahiran Sakyamuni dan kehidupannya yang dimitoskan)
* Volume 2: India (khotbah Buddha yang diajarkan Sakyamuni)
* Volume 3: India (ajaran kemanusiaan menurut Sakyamuni dan saat mangkat)
* Volume 4: India Pasca-Buddha (kegiatan murid-murid Sakyamuni setelah Sakyamuni wafat)
* Volume 5: India Pra-Buddha (kehidupan lampau Sakyamuni, dan masa hidupnya sebelum menjadi Buddha)


Bagian Tiongkok

Volume 6 hingga 9 berisi cerita agama Buddha

* Volume 6: Ajaran Buddha Tiongkok (kedatangan agama Buddha di Tiongkok dan sejarah penyebaran)
* Volume 7: Ajaran Buddha Tiongkok (kebajikan Mahaprajnaparamita Sutra dan Saddharma Pundarika Sutra, serta cerita mukjizat)
* Volume 8: tidak ada
* Volume 9: Cerita budi pekerti dari Tiongkok (cerita anak berbakti)
* Volume 10: Sejarah negara Tiongkok (buku sejarah Tiongkok, cerita aneh seperti novel)


Bagian Jepang, subbagian Buddhisme

* Volume 11: Buddhisme di Jepang (kedatangan Buddhisme di Jepang dan penyebarannya)
* Volume 12: Buddhisme di Jepang (pertanda dan kebajikan upacara peringatan orang meninggal)
* Volume 13: Buddhisme di Jepang (kebijakan resitasi Saddharma Pundarika Sutra)
* Volume 14: Buddhisme di Jepang (cerita mukjizat Saddharma Pundarika Sutra)
* Volume 15: Buddhisme di Jepang (cerita kematian biksu)
* Volume 16: Buddhisme di Jepang (cerita mukjizat Avalokitesvara Bodhisattva)
* Volume 17: Buddhisme di Jepang (cerita mukjizat Ksitigarbha Bodhisattva)
* Volume 18: tidak ada
* Volume 19: Buddhisme di Jepang (orang awam yang menjadi biksu dan wafat, cerita aneh)
* Volume 20: Buddhisme di Jepang (Tengu, pulang pergi ke/dari alam barzah, karma)


Bagian Jepang, subbagian cerita keduniawian

Volume 21 tidak ada. Sesuai urutan yang ada, volume ini kemungkinan menurut rencana disediakan untuk cerita keluarga kekaisaran.

* Volume 21: tidak ada
* Volume 22: Jepang (seri riwayat hidup klan Fujiwara)
* Volume 23: Jepang (cerita militer)
* Volume 24: cerita keduniawian Jepang (cerita dunia hiburan)
* Volume 25: cerita keduniawian Jepang (cerita perang dan kepahlawanan)
* Volume 26: cerita karma dari Jepang
* Volume 27: cerita hantu dari Jepang (cerita hantu, cerita misterius)
* Volume 28: cerita keduniawian dari Jepang (cerita humor)
* Volume 29: cerita dunia kriminal dari Jepang (cerita perampok dan cerita hewan)
* Volume 30: cerita lain-lain dari Jepang (cerita dengan lagu, kisah cinta)
* Volume 31: cerita lain-lain dari Jepang (cerita aneh, bonus cerita misterius)

Dari Wikipedia

Hikayat Genji

Hikayat Genji (Genji Monogatari) atau Kisah Genji adalah karya sastra klasik Jepang berbentuk novel yang ditulis Murasaki Shikibu di pertengahan zaman Heian. Hikayat ini disebut-sebut dalam buku sejarah terbitan tahun 1001, namun penulisannya dianggap belum selesai pada tahun tersebut.

Berdasarkan jumlah bab, isi, dan pencapaian di bidang sastra Jepang, Genji Monogatari merupakan salah satu karya terbesar mengenai keluarga kekaisaran di Jepang, sekaligus karya novel terbesar dalam kesusastraan Jepang.

1.Judul

Judul asli Genji Monogatari tidak diketahui hingga sekarang, karena naskah hasil salinan sering tidak mencantumkan judul. Walaupun mencantumkan judul, pada naskah sering digunakan judul yang berbeda-beda. Hikayat Genji kemungkinan besar tidak memiliki judul yang khusus, dan ada kemungkinan tokoh Murasaki no Ue dijadikan judul cerita.

Secara garis besar, ada dua cara penyebutan judul untuk Hikayat Genji pada naskah hasil salinan di zaman kuno atau naskah cerita yang dilengkapi anotasi:

* Judul dengan kata "Genji": Genji Monogatari, Hikaru Genji no Monogatari, Hikaru Genji, Genji, atau Genji no Kimi
* Judul dengan kata "Murasaki": Murasaki no Monogatari atau Murasaki no Yukari no Monogatari.

2.Pengarang

Pengarang Hikayat Genji adalah Murasaki Shikibu, seorang wanita sastrawan yang bekerja untuk Fujiwara no Shōshi (putri Fujiwara no Michinaga yang menjadi permaisuri pertama dari Kaisar Ichijō).

3.Isi

Hikayat Genji merupakan cerita yang sangat panjang dan terdiri dari 54 bab. Isinya mengenai kisah seputar istana kekaisaran yang terdiri dari 800 waka.

Cerita Hikayat Genji secara garis besar terdiri dari 3 bagian:

* Bagian I: kelahiran tokoh utama sebagai seorang pangeran (putra kaisar) yang menjadi warga biasa dan diberi nama kehormatan Genji, dan dikenal dengan nama Hikaru Genji. Setelah dewasa, Hikaru Genji dikelilingi banyak wanita.
* Bagian II: kerumitan kisah cinta Hikaru Genji.
* Bagian II: kisah anak cucu Hikaru Genji setelah ia tutup usia.


4.Nama bab
Bab Judul dalam romaji Isi
1 Kiritsubo Kelahiran Genji hingga usia 12 tahun
2 Hahakigi Genji usia 17 tahun, musim panas
3 Utsusemi Genji usia 17 tahun, musim panas
4 Yūgao Genji usia 17 tahun, musim gugur hingga musim dingin
5 Wakamurasaki Genji usia 18 tahun
6 Suetsumuhana Genji usia 18 tahun (musim semi) - 19 tahun (musim semi)
7 Momiji no ga Genji usia 18 tahun (musim gugur) - 19 tahun (musim gugur)
8 Hana no en Genji usia 20 tahun, musim semi
9 Aoi Genji usia 22-23 tahun, musim semi
10 Sakaki Genji usia 23 tahun (musim gugur) - 25 tahun (musim panas)
11 Hanachirusato Genji usia 25 tahun (musim panas)
12 Suma Genji usia 26 tahun (musim semi) - 27 tahun (musim semi)
13 Akashi Genji usia 27 tahun (musim semi) - 28 tahun (musim gugur)
14 Miotsukushi Genji usia 28 tahun (musim dingin) - 29 tahun
15 Yomogiu Genji usia 28-29 tahun
16 Sekiya Genji usia 29 tahun, musim gugur
17 E-Awase Genji usia 31 tahun, musim semi
18 Matsukaze Genji usia 31 tahun, musim gugur
19 Usugumo Genji usia 31 tahun, musim dingin - 32 tahun, musim gugur
20 Asagao Genji usia 32 tahun, musim gugur - musim dingin
21 Otome Genji usia 33-35 tahun
22 Tamakazura Genji usia 35 tahun
23 Hatsune Genji usia 36 tahun, Tahun Baru
24 Kochō Genji usia 36 tahun, musim semi - musim panas
25 Hotaru Genji usia 36 tahun, musim panas
26 Tokonatsu Genji usia 36 tahun, musim panas
27 Kagaribi Genji usia 36 tahun, musim gugur
28 Nowaki Genji usia 36 tahun, musim gugur
29 Miyuki Genji usia 36 tahun (musim gugur) - 37 tahun (musim semi)
30 Fujibakama Genji usia 37 tahun, musim gugur
31 Makibashira Genji usia 37 tahun (musim dingin) - 38 tahun (musim dingin)
32 Umegae Genji usia 39 tahun, musim semi
33 Fuji no Uraba Genji usia 39 tahun, musim semi - musim dingin
34 Wakana Bagian I Genji usia 39 tahun, musim dingin - 41 tahun, musim semi
35 Bagian II Genji usia 41 tahun, musim semi - 47 tahun musim dingin
35 Kashiwagi Genji usia 48 tahun, Tahun Baru - musim gugur
36 Yokobue Genji usia 49 tahun
37 Suzumushi Genji usia 50 tahun, musim panas - musim gugur
38 Yūgiri Genji usia 50 tahun, musim gugur - musim dingin
39 Minori Genji usia 51 tahun
40 Maboroshi Setahun ketika Genji berusia 52 tahun
41 Kumo ga kure Isinya disengaja kosong, secara implisit menyatakan bahwa Genji sudah meninggal
42 Niō no miya Niō Hyōbukyō Kaoru berusia 14 tahun - 20 tahun
43 Kōbai Kaoru usia 24 tahun, musim semi
44 Takekawa Kaoru, usia 14 tahun 6 bulan - 23 tahun
45 Hashihime Kaoru usia 20 tahun - 22 tahun
46 Shīgamoto Kaoru usia 23 tahun, musim semi - 24 tahun, musim panas
47 Agemaki Kaoru usia 24 tahun, musim gugur - musim dingin
48 Sawarabi Kaoru usia 25 tahun, musim semi
49 Yadorigi Kaoru berusia 25 tahun, musim semi - 26 tahun, musim panas
50 Azumaya Kaoru berusia 26 tahun, musim gugur
51 Ukifune Kaoru berusia 27 tahun, musim semi
52 Kagerō Kaoru berusia 27 tahun
53 Tenarai Kaoru usia 27 tahun - 28 tahun, musim panas
54 Yume no Ukihashi Kaoru usia 28 tahun

5.Tokoh-tokoh utama

* Hikaru Genji

Tokoh sentral dalam bagian pertama dan kedua. Hikaru Genji tidak berhak atas tahta karena lahir sebagai pangeran kedua dari pasangan Kaisar Kiritsubo dan Kiritsubo no Koi. Setelah menjadi warga biasa, kaisar memberikan nama keluarga Genji, dan Hikaru Genji sempat mengurung diri di Suma. Setelah pulih, Hikaru Genji diangkat sebagai Kaisar Jundaijō yang berkedudukan bagaikan kaisar yang sudah pensiun, walaupun tidak pernah naik tahta sebagai kaisar. Kedudukan ini membuat Hikaru Genji mendapat sebutan Rokujō-in. Dalam naskah asli, Hikaru Genji hanya dipanggil dengan nama gelarnya saja, yakni Kimi atau In. Istrinya bernama Aoi no Ue (Putri Aoi) dan Onna Sannomiya (Putri ke-3 dari Kaisar Suzaku), tapi istri sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari adalah Murasaki no Ue (Putri Murasaki). Anaknya bernama Yugiri (dari Aoi no Ue), Kaisar Reizei (anak dari selir ayahnya, Putri Fujitsubo tapi diakui di muka umum sebagai anak ayahnya), Putri Akashi (lahir dari ibu bernama Akashi no Onkata, nantinya menjadi selir dari Kinjō-tei). Selain itu, Genji memiliki 3 anak angkat: Akikonomu Chūgū (nama lain: Umetsubo no Nyōgo, putri dari Rokujō no Miyasudokoro), Tamakazura (anak perempuan dari Tōnochūjō dengan ibu bernama Yugao), dan Kaoru yang diakui sebagai anaknya sendiri walaupun sebenarnya anak dari pasangan Kashiwagi dan Onna Sannomiya).

* Kaisar Kiritsubo (Kiritsubo-tei, atau Kiritsubo no Mikado)

Ayah Hikaru Genji. Selain Genji, anak-anak yang lain bernama: Kaisar Suzaku (Suzakutei, atau nantinya disebut Suzaku-in), Hotaru Hyōbukyō no Miya, Hachi no Miya, dan sebagainya.

* Kiritsubo no Kōi

Ibu Hikaru Genji, selir (Kōi) dari Kaisar Kiritsubo, wafat ketika Genji berusia 3 tahun.

* Fujitsubo atau Fujitsubo Chūgū (Putri Fujitsubo)

Ibu tiri sekaligus kekasih Hikaru Genji hingga melahirkan anak yang nantinya menjadi Kaisar Reizei. Fujitsubo bagaikan pinang dibelah dua dengan ibu kandung Genji (Kiritsubo no Kōi)

* Aoi no Ue

Putri pejabat Sadaijin yang menjadi istri pertama Hikaru Genji. Ibunya yang bernama Ōmiya adalah saudara kandung Kaisar Kiritsubo, sehingga masih sepupu dengan Hikaru Genji. Aoi no Ue berusia lebih tua dari Genji, dan kehidupan rumah tangga mereka tidak harmonis. Aoi no Ue meninggal ketika melahirkan Yugiri. Dengan kekasih Genji yang bernama Rokujō no Miyasudokoro, Aoi no Ue bertengkar soal tempat untuk menonton matsuri dan dikutuk olehnya hingga meninggal.

* Tōnochūjō atau Naidaijin

Kakak dari Aoi no Ue (kakak ipar Hikaru Genji) yang menjadi sahabat Genji sekaligus saingannya. Ayahnya adalah pejabat Sadaijin. Dalam mengejar karier dan cinta, Tōnochūjō selalu tertinggal dari Genji. Anaknya bernama Kashiwagi, Kumoi no Kari (istri dari Yugiri), Kokiden no Nyōgo (selir Kaisar Reizei), Tamakazura (istri dari Higekuro Taishō, anak dari Tōnochūjō dengan Yūgao), Ōmi no Kimi, dan sebagainya. Satu-satunya tokoh utama dalam Hikayat Genji yang penyebutan namanya tidak konsisten.

* Rokujō no Miyasudokoro

Istri dari mantan putra mahkota dari Kaisar Kiritsubo (kakak laki-laki tertua Kaisar Kiritsubo). Kekasih Genji dan sangat mencintai Genji, namun kasihnya tidak terbalas. Rokujō no Miyasudokoro mengutuk Aoi no Ue (istri Genji) hingga meninggal. Putri dari Rokujō no Miyasudokoro yang bernama Ise Saigū, nantinya menjadi anak angkat Genji, dan berganti nama menjadi Akikonomu Chūgū setelah menjadi selir Kaisar Reizei.

* Murasaki no Ue

Keponakan dari Fujitsubo Chūgū, putri dari Hyōbū no Miya. Murasaki no Ue masih kecil sewaktu Genji bertemu dengannya, dan dibesarkan oleh Genji sebagai anak angkat. Setelah istri Genji (Aoi no Ue) meninggal, Genji memperistri Murasaki no Ue. Bersama Murasaki no Ue, Genji tidak dikaruniai anak, sehingga mereka menjadikan Akashi no Chūgū sebagai anak angkat. Di masa tua Genji, kedudukan Murasaki no Ue tergeser oleh Onna Sannomiya.

* Akashi no Onkata

Anak perempuan dari biksu bernama Akashi no Nyūdō. Wanita simpanan Genji sewaktu ia harus tinggal di Suma. Dari keduanya lahir anak perempuan bernama Akashi no Chūgū yang dijadikan anak angkat Genji dan Murasaki no Ue.

* Onna Sannomiya

Putri ke-3 Kaisar Suzaku, keponakan Hikaru Genji sekaligus keponakan Fujitsubo Chūgū. Ketika Genji sudah tua, Onna Sannomiya menjadi istri pengganti Aoi no Ue. Onna Sannomiya berhubungan gelap dengan Kashiwagi (putra sulung Tōnochūjō) hingga melahirkan Kaoru.

* Kashiwagi

Putra sulung Tōnochūjō (Naidaijin) yang ingin menikah dengan Onna Sannomiya tapi tidak terlaksana. Kashiwagi diketahui berselingkuh dengan Onna Sannomiya hingga Genji menjadi sangat marah. Kashiwagi sangat sedih hingga jatuh sakit dan meninggal.

* Yugiri

Putra sulung Genji dengan Aoi no Ue. Setelah ibunya meninggal, Yugiri dibesarkan keluarga ibunya. Yugiri dibesarkan oleh kekasih Genji yang bernama Hanachiru Sato. Ketika masih kecil, Yugiri jatuh cinta dengan Kumoi no Kari (putri Tōnochūjō yang berusia 2 tahun lebih tua), dan menikahinya setelah dewasa. Setelah Kashiwagi meninggal, Yugiri jatuh cinta dengan janda Kashiwagi yang bernama Suzaku-in no Onna Ninomiya (Ochiba no Miya) dan memperistrinya secara paksa.

* Kaoru

Tokoh utama dalam cerita bagian ketiga. Anak laki-laki dari Genji dan Onna Sannomiya, walaupun ayah sebenarnya adalah Kashiwagi. Kaoru memiliki aroma tubuh yang harum sehingga dipanggil "Kaoru" (si harum). Kaoru memiliki banyak sekali kekasih di mana-mana, termasuk dengan Ukifune.

* Niōmiya atau Niō no Miya

Seorang pangeran, putra dari Kinjō-tei. Ibunya adalah Akashi no Chūgū. Sebagai pangeran ketiga, pekerjaannya hanya bermain-main saja. Selalu bersaing dengan Kaoru, tapi perlu menggunakan dupa sebagai pewangi pakaian agar bisa menandingi keharuman aroma tubuh Kaoru.

* Ukifune

Wanita yang direbutkan antara Kaoru dan Niōmiya. Ukifune mencoba bunuh diri di sungai karena dicintai dua orang lelaki, namun nyawanya ditolong seorang biksu.

Sumber : Wikipedia Indonesia

Sastra Jepang

Sastra Jepang (Nihon Bungaku) adalah karya sastra dalam bahasa Jepang, atau studi mengenai karya sastra tersebut dan pengarangnya.

Secara garis besar, sastra Jepang dibagi menjadi 5 periode: sastra kuno (zaman Nara), sastra klasik (zaman Heian), sastra pertengahan (zaman Kamakura, zaman Namboku-cho, zaman Muromachi), sastra modern (zaman Azuchi-Momoyama, zaman Edo), dan sastra kontemporer (karya sastra mulai zaman Meiji hingga sekarang). Meskipun demikian, sastra kuno dan sastra klasik sering dijadikan satu menjadi sastra klasik. Sastra zaman Azuchi-Momoyama juga sering digolongkan ke dalam sastra abad pertengahan. Sementara itu, sastra modern sering hanya berarti karya sastra zaman Meiji hingga zaman Taisho, dan sastra kontemporer hanya mencakup karya sastra zaman Showa hingga sekarang.


Periodisasi
1.Sastra kuno

Sastra kuno Jepang mencakup karya-karya hingga zaman Nara. Aksara kanji diperkenalkan di Jepang dari daratan Cina melalui Semenanjung Korea. Aksara Tionghoa dipakai orang Jepang untuk menulis dengan sistem kanbun, dan sebagai aksara manyōgana untuk melambangkan bunyi bahasa Jepang. Karya sastra dari periode kuno di antaranya buku sejarah seperti Kojiki (712) dan Nihon Shoki (720), serta kumpulan puisi Manyōshū.

2.Sastra klasik

Sastra klasik mencakup karya sastra yang dihasilkan sekitar zaman Heian. Bersamaan dengan puncak keemasaan kanbun dan kanshi, kompilasi waka yang pertama, Kokin Wakashū selesai disusun, dan kedudukan waka sederajat dengan kanshi. Walaupun sistem penulisan resmi waktu itu adalah sistem kanbun, hiragana mulai populer untuk menulis bahasa Jepang, dimulai dari Ki no Tsurayuki dengan Tosa Nikki, Sei Shōnagon dengan esai Makura no Sōshi, dan Murasaki Shikibu dengan Hikayat Genji senbagai karya-karya sastra yang mewakili sastra klasik Jepang.

3.Sastra abad pertengahan

Sastra abad pertengahan mencakup karya sastra mulai dari zaman Kamakura hingga zaman Azuchi-Momoyama. Fujiwara no Teika menyusun antologi waka Shin Kokin Wakashū. Sebagian besar karya sastra memakai sistem penulisan wakan konkōbun yang merupakan bentuk awal bahasa Jepang modern. Di antara karya yang mewakili sastra abad pertengahan misalnya Hōjōki karya Kamo no Chōmei, Tsurezuregusa karya Yoshida Kenkō, dan Hikayat Heike. Teater sarugaku juga mulai berkembang pada periode ini.

4.Sastra modern

Sastra modern awal mencakup karya sastra asal zaman Edo. Karya sastra yang mewakili periode ini adalah Ukiyozōshi karya Ihara Saikaku dan Kanazōshi yang keduanya dipengaruhi oleh Otogizōshi. Pada zaman Edo, kabuki dan jōruri mencapai zaman keemasan. Haikai mencapai puncak kepopuleran dengan penyair-penyair seperti Matsuo Basho dan Kobayashi Issa.

5.Sastra kontemporer

Sastra kontemporer mencakup karya sastra mulai zaman Meiji. Setelah berakhirnya sakoku, budaya Eropa dan Amerika mulai mengalir masuk ke Jepang hingga terjadi Bunmei-kaika. Sastra Jepang juga mendapat pengaruh yang besar. Prinsip-prinsip novel modern dari Eropa dan Amerika mulai dikenal di Jepang. Tsubouchi Shoyo dengan kritik sastra Shōsetsu Shinzui, serta Futabatei Shimei dengan Shōsetsu Sōron dan Ukigumo mengawali periode sastra kontemporer Jepang.

6.Bentuk sastra

* Prosa
o Monogatari: furumonogatari, tsukuri monogatari, utamonogatari, gikomonogatari, gunki monogatari
o Setsuwa
o Novel: shishōsetsu, gesaku
o Teater: noh, kabuki, bunraku (ningyo johruri)
o Esai
o Buku harian
o Catatan perjalanan
o Biografi: autobiografi, ōjōden
o Kritik sastra
o Nihon kanbun
* Sajak
o Puisi: sajak bebas, sajak terikat, puisi prosa
o Waka: tanka, chōka, sedōka, bussokusekika
o Renga: haikai renga, kyōka, haikai (renku)
o Haiku: teikei haiku, jiyūritsu haiku
o Senryū: kyōku
o Tanka (kindai tanka)
o Kayō: kikikayō, imayō, kouta
o Kanshi

Dari Wikipedia Indonesia

Sabtu, 09 Januari 2010

Drama

Pengertian Drama

1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :
a. Drama diartikan sebagai komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau dialog yang dipentaskan.
b. Drama adalah suatu cerita atau kisah terutama yang dilibatkan dalam konflik atau emosi, yang khusus disusun untuk pertunjukan teater.
c. Drama adalah kejadian yang menyedihkan.

2. DRAMA
Adalah sebuah cerita yang dimainkan di atas panggung atau pentas.
Sebenarnya kata “Drama” berasal dari kata Yunani yaitu “Dram” yang berarti “Gerak” atau action dalam bahasa Inggris. Jadi yang menjadi eksensi adalah Gerak dalam fungsinya untuk menyatakan perbuatan manusia. Dalam permainan Drama memang memerlukan gerakan-gerakan terbentuk yang sangat erat hubungannya dengan topik atau judul cerita. Meskipun demikian Drama itu bukan hanya gerakan saja tetapi ada juga percakapan-percakapan atau dialog yang dilakukan oleh para pemain yang satu dengan yang lain.

Unsur-Unsur pementasan Drama

1. Naskah Drama
Naskah drama merupakan bahan pokok dari pementasan. Naskah drama yang sudah didapatkan seharusnya dicerna atau diolah ulang, bahkan mungkin dirubah, ditambah atau dikurangi dengan tujuan pementasan penafsiran sutradara, situasi pentas, keabat kerja, perlengkpan, dan penonton yang dibayangkan.
Dalam naskah drama bahasa yang diwujudkan dalam bentuk dialog, dapat dijadikan penanda memahami siapa dan bagaimana tokoh atau pelaku dalam naskah tersebut. Pada dasarnya seluruh naskah darama tersaji dalam bentuk simbolis. Ada sesuatu yang disembunyikan penulis naskah, segala sesuatu dikatakan secara tidak terus terang. Karena bagaimanapun naskah dama sebagai karya sastra merupakan proses kreativitas individu pengarang berbicara tentang dirinya yang disajikan secara tidak langsung atau dengan menggunakan simbol-simbol, bahasa, gerak dan bunyi.
2. Sutradara
Setelah naskah, faktor sutradara memegang peranan yang penting. Sutradara inilah yang bertugas mengkoordinasikan lalu lintas pementasan agar pementasannya berhasil. Ia bertugas membuat atau mencari naskah drama, mencari pemeran, kerabat kerja, penyandang dana, dan dapat mensikapi calon penonton.
Seperti kita ketahui bersama, sutradara adalah pimpinan pementasan. Ia bertugas melakukan casting, mengatur akting para aktor, dan mengatur kru lain dalam mendukung pementasan. Pada dasarnya seorang sutradara berkuasa mutlak sekaligus bertanggung jawab mutlak atas pementasan.
3. Pemeran
Pemeran inilah yng harus menafsirkan perwatakan tokoh yang diperankannya. Memang sutradaralah yang menentukannya, tetapi tanpa kepiawaian dalam mewujudkan pemeranannya, konsep peran yang telah digariskan sutradara berdasarkan naskah, hasilnya akan sia-sia belaka.
4. Dialog
Yaitu percakapan yang diucapkan oleh seorang pemeran atau pemain drama. Dialog merupakan salah satu unsur vital, oleh karena itu ada 2 syarat pokok yang tidak boleh diabaikan yaitu :
1. Dialog harus wajar, menarik, mencerminkan pikiran dan perasaan tokoh yang diperankan.
2. Dialog harus jelas, terang, menuju sasaran alamiah, dan tidak dibuat-buat.

5. Panggung
Secara garis besar variasi panggung dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, panggung yang dipergunakan sebagai pertunjukan sepenuhnya, sehingga semua penonton dapat mengamati pementasan secara keseluruhan dari luar panggung. Kedua, panggung berbentuk arena, sehingga memungkinkan pemain berada di sekitar penonton.
6. Cahaya
Cahaya (lighting) diperlukan untuk memperjelas penglihatan penonton terhadap mimik pemeran, sehingga tercapai atau dapat mendukung suasana sedih, murung, atau gembira, dan juga dapat mendukung keratistikan set yang dibangun di panggung.
7. Bunyi
Bunyi ini memegang peran penting. Bunyi dapat diusahakan secara langsung (orkestra, band, gamelan, dsb) tetapi juga dapat lewat perekaman yang jauh hari sudah disiapkan oleh kru pentas yang bertanggung jawab mengurusnya.
8. Pakaian
Sering disebut kostum, adalah pakaian yang dikenakan para pemain untuk membantu pemeran dalam menampilkan perwatakan tokoh yang diperankannya. Dengan melihat kostum yang dikenakannya, para penonton langsung dapat menerka profesi tokoh yang diperankan dan sifat tokoh tersebut.
9. Rias
Berkat tata rias yang baik, seorang gadis berumur 18 tahun dapat berubah wajah seakan-akan menjadi seorang nenek-nenek. Dapat juga wajah tampan dipermak menjadi tokoh yang tampak kejam dan jelek. Semua itu diusahakan untuk lebih membantu para pemeran untuk membawakan perwatakan tokoh sesuai dengan yang diinginkan naskah dan tafsiran sutradara..
10. Penonton
Dalam setiap pementasan faktor penonton perlu dipikirkan juga. Jika drama yng dipentaskan untuk para siswa sekolah sendiri, faktor penonton tidak begitu merisaukan. Apabila terjadi kekeliruan, maka mereka akan memakluminya. Akan tetapi, dalam pementasan untuk umum, hal seperti itu tidak akan terjadi. Oleh karena itu, jauh sebelum pementasan sutradara harus mengadakan survei perihal calon penonton. Sehingga awak pentas harus lebih siap.