Minggu, 04 Desember 2011

Seminar Femininitas Dan Maskulinitas Dalam Karya NH Dini (2)


Jumat, 2 Desember 2011 merupakan hari yang tunggu-tunggu sekaligus hari yang tidak ingin saya temui. Seperti yang saya tulis sebelumnya, hari ini saya akan mempresentasikan makalah yang telah saya tulis dalam Seminar Femininitas dan Maskulinitas dalam Karya-Karya NH Dini. Sejak pagi perasaan saya sudah tidak karuan. Nervous, takut, senang, semua bercampur jadi satu. Apalagi celotehan teman-teman membuat saya semakin gugup. Berkali-kali saya harus pergi ke toilet karena terlalu gugupnya.
Hingga akhirnya saat itu tiba. Dosen saya memasuki ruangan dengan memapah seorang wanita yang berjalan menggunakan alat bantu berupa tongkat. Saat itulah pertama kalinya saya bertatap muka langsung dengan NH Dini. Setelah diperkenalkan oleh dosen saya, saya mencium tangannya. Tidak ada satupun garis penuaan di telapak tangannya yang halus. Dari sanalah karya-karya besar bermunculan. Saya sangat bangga dapat sedekat ini dengan penulis yang menjadi panutan saya.
Sebelum seminar dimulai, saya sempat berbincang-bincang dengan beliau mengenai rumah baca yang beliau dirikan. Beliau kemudian memberi sebuah brosur yang berisi tentang biografi singkat dan karya-karya beliau. Saya baru 'ngeh' ketika membaca alamat tempat tinggal beliau. WISMA LANSIA???
Saya jadi teringat cerita seorang dosen sastra saya, Ibu Adi Setijowati, yang pernah bercerita mengenai kehidupan NH Dini yang tak semulus yang kukira. Dua anaknya (Lintang dan Pierre) kini tinggal di luar negeri, Dini juga telah lama bercerai dengan suaminya. Alhasil, hari tuanya kini ia isi dengan menulis, mendirikan taman bacaan, dan mengisi acara-acara kepenulisan lainnya.
Kembali pada cerita di hari Jumat 2 Desember 2011 itu, moderator yang memandu acara tersebut lalu memulai acara dan memanggil satu per satu pembicara ke atas panggung. Pembicara pada seminar kali ini antara lain NH Dini, Ida Nurul Chasanah (pakar feminis yang juga dosen Sastra Indonesia Unair), serta saya sendiri.
Sebagai pembicara pertama, saya menyampaikan hasil bacaan saya terhadap beberapa karya NH Dini, akan tetapi pada kesempatan ini saya lebih fokus berbicara tentang novel yang berjudul "Namaku Hiroko". Saya memilih "Namaku Hiroko" karena tertarik akan latar dan sosial budaya yang diangkat dalam novel ini, yaitu negara Jepang. Seperti yang kita ketahui, unggah-ungguh perempuan Jepang tidak jauh berbeda dengan perempuan jawa. Mereka masih terikat aturan ini-itu yang harus mereka lakukan sebagai konsekuensi gender.
Akan tetapi Hiroko yang digambarkan sebagai perempuan desa yang lugu digambarkan mencoba menembus batas-batas perempuan Jepang yang selama ini berlaku. Ia melakukan sebuah dekonstruksi atas sebuah budaya dan pemikiran masyarakat kebanyakan, bahwa perempuan bebas menentukan nasibnya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar